Penulis: Hanisa Saputri (Wonogiri)

Di hutan rimba hiduplah sepasang singa yang bernama Simba dan Sambi. Keduanya hidup rukun dan berdampingan dengan warga hutan lain. Simba diangkat sebagai pemimpin yang arif dan bijak, sementara Sambi dianggap sebagai ‘Ibu’ bagi warga hutan karena memiliki sifat yang penyayang. Perawakan Simba yang gagah, menyempurnakan sosoknya sebagai raja rimba. Sosoknya sangat disegani, mulai dari semut hingga burung cucur pun sangat taat padanya.

Suatu hari, hutan rimba tengah diserang paceklik. Padang sabana yang luas, tempat singgasana Simba yang dulunya sangat teduh dan nyaman, kini gersang. Segersang oase dan meninbulkan hawa panas yang luar biasa. Persediaan makanan di hutan sudah sangat menipis, bahkan yang lebih parah lagi satu-satunya mata air terbesar di hutan itu sudah mulai mengering. Simba mulai gusar, melihat keadaan hutan saat ini.

Selama Simba hidup di hutan rimba, belum pernah merasakan paceklik yang semakin hari semakin parah ini. Banyak warga hutan yang mengadu pada Simba atas kesulitan yang mereka rasakan. Salah satu warga hutan yang mengadu tersebut adalah Kijo, si ayah kijang dengan empat anaknya. Dengan risau ia menghadap Sang Simba, kemudian menjelaskan maksud kedatangannya di padang sabana. “Hamba tidak tahu lagi, besok masih bisa hidup atau tidak baginda. Hamba tidak tahu lagi hendak mencari makan ke mana lagi, anak-anak hamba sangat lemas karena belum makan satu hari ini, mereka merengek minta seteguk air, tetapi hamba tidak bisa memberikannya.”, keluh Kijo dengan menahan sedan.

Simba menyuruh Sambi mengambilkan air satu batok di bilik sumur yang terletak di bawah pohon angsana, sumur itu satu-satunya yang masih terisi air. Kemudian disuruhnya Sambi meminumkan air tersebut kepada anak-anak Kijo. Empat anak Kijo seketika berhenti merengek. Simba kemudian menjelaskan apa yang sedang terjadi di hutan rimba saat itu. Ternyata bukan hanya Kijo saja yang datang meminta bantuan. Keadaan hutan memang tidak baik-baik saja. Satu-persatu warga hutan tumbang karena tidak sanggup lagi mempertahankan hidupnya di tengab paceklik yang sedang terjadi ini.

Simba akhirnya mengutus Hanoom, si kera putih untuk menelusuri sebab terjadinya paceklik secara dahsyat ini. Hanoom merupakan kaki tangan Simba yang selalu menemani dalam suka dan duka. Hanoom adalah ksatria yang berani dan cerdik. Kemampuan daya nalarnyapun tidak bisa diragukan. Insting terhadap serangan dan halangan dari luar juga bisa dibaca Hanoom dengan tepat.

Hanoom pamit undur diri dan selanjutnya akan bergegas mencari informasi tentang paceklik dahsyat di hutan rimba tersebut. “Izinkan hamba menuntaskan kesedihan ini Baginda. Restu Baginda menjadi penguat hamba.”, kata Hanoom dengan mantap. “Hati-hati Hanoom, kembali dengan kabar baik.”, pinta Sambi dengan nada cemas (seperti melepas kekasih yang hendak berlaga di medan perang). Simba hanya mengangguk takzim, dan sesekali melirik ke arah istrinya. Dalam hatinya berkata, “Ada apa gerangan antara Hanoom dan Sambi, istriku.” Namun dengan segera, ia menampik pikiran liar yang bermain di dalam otaknya sedari tadi.

Tiga hari berlalu, paceklik di hutan rimba semakin parah. Mayat-mayat binatang berserakan di mana-mana. Mereka tidak bisa bertahan di tengah kondisi hutan yang kacau. Mereka kekurangan pangan, bertempur dengan saudaranya sendiri merebutkan cadangan makanan, berebut seteguk air, miris. Pepohonan asoka yang rimbun kini meranggas dan lapuk tergerus hawa panas. Induk gajah berteriak dan memohon kepada siapapun untuk diberikan seteguk air. Anak yang baru dilahirkannya sekarat. Harimau yang garangpun kehilangan jati diri. Tubuhnya kurus, laiknya tulang berbungkus kulit. Matanya meredup, seperti susah hidup.

Simba semakin gusar, melihat paceklik semakin parah. Ia merasa gagal sebagai pemimpin di hutan rimba. Aset satu-satunya yang dia punya hanyalah sumur di bawah pohon angsana. Itupun tidak akan cukup untuk memulihkan keadaan di hutan rimba. Simba bertambah gelisah, karena Hanoom yang diutusnya belum juga kembali ke hutan. Dari kejauhan terdengar derap langkah Si Kancil yang tergesa-gesa. Ia tampak gugup dan takut-takut hendak mengutarakan maksudnya kepada Simba.

Dengan tenang Simba meminta Si Kancil untuk menyampaikan semuanya. Sembari terbata-bata dan takut, Kancil mengungkapkan apa yang telah ia lihat di dekat jalan setapak tadi. “Beribu ampun saya haturkan kepada Baginda. Saya tidak pantas menyampaikan ihwal ini kepada Baginda, tetapi saya tidak tega melihat Baginda selalu didustai.”, jelas Kancil dengan penuh rasa takut. “Apa yang sebenarnya terjadi, wahai Kancil? Jelaskan padaku, maka aku akan tabah menerima semua kekhawatiranmu tersebut.”, kata Simba dengan yakin.

Kancil menjelaskan tentang apa yang dilihatnya tadi. Dengan takut ia mengungkapkan semuanya. Dusta yang telah dilakukan Sambi. Kancil tidak menyangka, wanita yang dianggap sebagai ‘Ibu’ bagi warga hutan bisa melakukan hal semacam itu. Wanita yang selalu menjaga kewibawaannya, menjaga tingkah lakunya sampai hati berlaku kiri kepada suaminya. Dengan gontai, Simba mencoba tegar saat mendengar kesaksian Kancil. Hatinya tercekik, napasnya menjadi tak beraturan. Komat-kamit mulutnya seaakan memberi isyarat akan kemarahan dalam hatinya. Tetapi ia bisa menahan, lebih memikirkan derita warga hutan yang nasibnya sedang diujung tanduk.

Tanpa pikir panjang, Simba meminta Kancil untuk diantar ke tempat Sambi dan Hanoom. Di atas jalan setapak, di bawah pohon angsana yang mulai mengering keduanya sedang bercumbu rayu. Dengan jelas Simba menyaksikan keintiman di antara keduanya. Kancil yang sedari tadi menyaksikan pergulatan batin ini merasa iba dengan apa yang dirasakan Simba. “Bedebah, kalian! Apa yang kalian lakukan di belakangku?”, umpat Simba dengan garang. “Hamba bisa menjelaskan semuanya, Baginda. Semua tidak seperti yang Baginda lihat.”, kata Hanoom gugup. “Kanda, maafkanlah Dinda. Dinda telah berbuat kiri pada Kanda.”, keluh Sambi disela tangisnya.

Hanoom menjelaskan tentang apa yang diperbuatnya dengan Sambi. Ia mengaku khilaf. Ia telah merusak kepercayaan Simba terhadapnya. Sementara Sambi, ia masih berlutut di kaki suaminya. Memohon ampun atas segala yang telah ia perbuat. Simba dengan tegas dan besar hati memaafkan kesalahan keduanya. Ia lebih mementingkan keadaan warga hutan saat ini. Sampai-sampai ia mengesampingkan keadaan hatinya yang tidak kalah carut marut.

Dalam situasi yang semakin terhimpit, Simba tidak punya banyak waktu lagi. Menyelamatkan hutan rimba dari paceklik, atau ikut mati bersama segenap rasa benci dan amarah yang ada di dalam hatinya. Ia bersama Kancil lantas bergegas ke atas bukit Ayodya. Bukit tersebut merupakan bukit permohonan kepada Sang Nata agar senantiasa diberikan pencerahan atas segala yang terjadi di hutan rimba. Di sana Simba dengan khusyuk bermunajat.

Keadaan lain terjadi di hutan rimba. Bak disambar petir di siang hari, warga hutan yang sedang mencari sisa-sisa makanan terlihat sangat acuh tak acuh terhadap Sambi. Mereka memalingkan muka ketika melihat Sambi berjalan diiringi dengan Hanoom. Sambi seperti mendapatkan hukum rimba. Keanggunannya telah rusak karena perbuatannya sendiri, kecantikannya mulai pudar, kewibawaannga telah hilang dan berganti dengan olok-olokan warga. Sementara Hanoom, seorang ksatria hutan rimba yang sangat disanjung, kini menjadi jelata. Tidak ada yang memedulikan keberadaannya, bahkan di tengah paceklik seperti saat ini. Tidak ada warga hutan yang menganggap keberadaan mereka berdua.

Tujuh hari berada di bukit Ayodya, setelah bermunajat kepada Sang Nata dengan segala kejadian yang telah dilaluinya selama ini, Simba mendapat jawaban dari doa-doanya. Sekembalinya Simba dan Kancil dari bukit Ayodya, betapa bahagianya ia melihat sabana yang kemarin gersang dan panas kini menjadi sabana yang dihiasi rumput hijau yang segar. Sumber mata air dan sumur-sumur kembali memercikkan air yang segar. Pohon-pohon buah dan tanaman obat tumbuh subur, bahkan lebih subur daripada tempo hari sebelum terserang paceklik. Singgasana Sambi kembali hidup, rumput-rumput yang hijau tumbuh subur. Pohon angsana yang memayungi sumur berdiri dengan kokoh. Di sana tumbuh pula kembang cempaka yang harum dan sangat cantik. Bunga itu sebagai pengganti keberadaan Sambi. Tidak kalau cantik dengan Sambi.

Simba merasa sangat bahagia karena telah menyelamatkan warga hutan dari paceklik yang sangat dahsyat. Namun kebahagiaannya kurang sempurna karena tidak adanya Sambi, istri yang dianggapnya wanita paling setia. Meskipun paceklik telah berlalu, hati Simba masih tercekik. Tercekik atas segala pengkhianatan yang telah dilakukan Sambi dan Hanoom. Kedua sosok yang berperan penting dalam kehidupan Simba.

 

Biodata Singkat Penulis:

Tercipta sebagai Hanisa Saputri. Putri Bapak yang lahir di Wonogiri, 15 Juni 1997. Putri Ibu yang sedang belajar menulis. Kawan teman-teman yang dipanggil Senda.  Pernah belajar di Universitas Sebelas Maret Surakarta, program studi Sastra Indonesia pada bidang Filologi (konsentrasi naskah Melayu Klasik).

Sapa dan temukan saya di alamat,

Twitter               : @sendakata

Instagram           : @sendakata

Pos Elektronik   : hanisauns@gmail.com