Ketika Arsenal menjamu Atletico Madrid, ada satu pemandangan unik ditampilkan oleh Mesut Ozil. Gelandang serang Arsenal dan tim nasional Jerman tersebut mengalami insiden dilempar potongan roti oleh suporter klub lawan ketika berada di pojok lapangan, untuk mengambil tendangan penjuru.

Bukan melemparkan balik ke arah asal potongan roti tersebut, Ozil malah mencium kemudian menempelkan potongan roti tersebut di keningnya, sebelum kemudian menaruhnya kembali di rumput dengan hormat.

Beberapa orang menganggap ini bagian dari penghormatan Ozil terhadap makanan, dan memang tidak sepantasnya makanan di buang-buang. Ditengah masih banyak orang yang kesusahan memenuhi kebutuhan makanannya.

Aksi yang dilakukan Ozil mungkin terwakili oleh tweet yang dikutip oleh Yamadipati Seno dalam artikelnya di Mojok.co:

“Membuang-buang roti bertentangan dengan ajaran agamanya. Ozil mencium roti dan menyentuhkan ke keningnya sebagai ekspresi rasa terima kasih kepada Tuhan,” kicau akun Twitter bernama @hadimkarim.

Ozil berasal dari keluarga imigran Turki generasi ketiga. Nenek moyangnya datang ke Jerman untuk mencari penghidupan yang lebih manusiawi. Ozil lahir dari ayah bernama Mustafa dan ibu bernama Gulizar. Masih mengutip Artikel Yamadipati Seno:

“Salah satu pelajaran penting dari usaha bertahan hidup adalah punya makanan yang cukup, tidak kurang, tidak lebih lebih.

Kehidupan yang serba pas itu membentuk mental Ozil dan keluarganya untuk tidak menyia-nyiakan makanan. Jadi memang cocok dengan ajaran agama dan tradisi yang ia pegang teguh.”

Apa yang ditampilkan oleh Ozil, mengajak kita untuk melihat ulang seberapa penting pangan bagi keberlangsungan hidup manusia pada masa-masa yang akan datang, namun sialnya kondisi pangan kita tengah mengkhawatirkan.

ISU KELANGKAAN PANGAN

Pangan menjadi isu penting bagi keberlangsungan hidup manusia di masa-masa yang akan datang. Thomas Malthus memberi peringatan pada tahun 1798 bahwa jumlah manusia akan meningkat secara eksponensial.

Sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika, sehingga akan terjadi sebuah kondisi dimana dunia akan mengalami kekurangan pangan akibat pertambahan ketersediaan pangan yang tidak sebanding dengan pertambahan penduduk.

Pemikiran Malthus telah mempengaruhi kebijakan pangan internasional, antara lain melalui Revolusi Hijau yang sempat dianggap berhasil meningkatkan laju produksi pangan dunia sehingga melebihi laju pertambahan penduduk. Pada saat itu, variabel yang dianggap sebagai kunci sukses penyelamat ketersediaan pangan adalah teknologi (Nasoetion, 2008).

Hingga awal tahun 2000-an, sebelum pemanasan global menjadi suatu isu penting, dunia selalu optimis mengenai ketersediaan pangan. Bahkan waktu itu, FAO memprediksi bahwa untuk 30 tahun sejak tahun 2000, peningkatan produksi pangan akan lebih besar daripada pertumbuhan penduduk dunia.

Peningkatan produksi pangan yang tinggi itu akan terjadi di negara-negara maju. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga akan membaik.

Prediksi ini didasarkan pada data historis selama dekade 80-an hingga 90-an yang menunjukkan peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6% per tahun.

Memang, untuk periode 2000-2015 laju peningkatan produksi pangan diperkirakan akan menurun menjadi rata-rata 1,6% per tahun, namun ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2% per tahun.

Untuk periode 2015-2030 laju pertumbuhan produksi pangan diprediksikan akan lebih rendah lagi yakni 1,3% per tahun tetapi juga masih lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun.

Juga FAO memprediksi waktu itu bahwa produksi biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan, dari 1,84 miliar ton di tahun 2000 menjadi 2,84 miliar ton di tahun 2030 (Siswono, 2002).

Skripsi Deni Afrianto (2010) berjudul “Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Panen, Rata-Rata Produksi, Harga Beras, dan Jumlah Konsumsi Beras Terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah” mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah kecukupan pangan dunia menjadi isu yang semakin penting untuk diselesaikan dan banyak kalangan yakin bahwa dunia sedang menghadapi krisis pangan sejak 2007.

Karena laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara di sisi lain lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian terbatas, atau laju pertumbuhannya semakin kecil, atau bahkan secara absolut cenderung semakin sempit.

Pandangan ini persis seperti teori Malthus yang memprediksi suatu saat dunia akan dilanda kelaparan karena defisit produksi/stok.

World Food Program (WFP) menyatakan bahwa akibat melejitnya harga pangan dunia, sekitar 100 juta orang di tiap benua terancam kelaparan. Badan PBB ini menyebut krisis pangan tersebut sebagai the silent tsunami, petaka yang melanda diam-diam.

Sementara itu, Oxfam, sebuah LSM dari Inggris, memperkirakan setidaknya 290 juta orang terancam kelaparan akibat krisis pangan kali ini (Hadar, 2008). Orang yang terancam kelaparan dalam jumlah yang besar tersebut mengindikasikan bahwa memang, seperti yang dinyatakan di Sunday Herald (2008) bahwa krisis pangan kali ini adalah yang terbesar sejak awal abad ke-21.

Laporan Organisasi Pangan Dunia edisi 23 Desember 1997 memperkirakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang terancam krisis pangan dalam beberapa tahun ke depan. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah menyentuh angka 220 juta jiwa membuat ramalan ini menjadi semakin nyata (Bustanul, 2001).

Hal ini diperparah dengan kondisi faktual yang terjadi di lapangan dimana produktivitas sektor produksi pangan yang mengalami penurunan, seiring dengan kapasitas alam yang mulai mengalami depresiasi karena adanya eksploitasi yang berlebihan.

Lebih jauh, hal ini dikhawatirkan akan memicu krisis pangan di setiap negara khususnya negara dunia ketiga.

Masih mengutip penelitian Deni Afrianto (2010), krisis pangan juga bisa terjadi (atau bahkan sudah melanda) Indonesia. Data dari Deptan menunjukkan bahwa selama periode 2005-2008, harga dari sejumlah komoditas pangan penting mengalami kenaikan lebih dari 50%. Bahkan harga kedelai naik sekitar 114%

Salah satu sebab rumitnya kondisi pangan di Indonesia sebab ketrgantungan kita yang terlalu tinggi pada beras. Sibuea (1998) menyatakan bahwa Indonesia mengalami kekurangan stok beras karena kebijakan ”berasisasi”.

Bagi 60 persen penduduk Indonesia di pedesaan, kebutuhan pangannya berbasis sumber daya lokal. Kearifan lokal ini berperan sebagai mitigasi kerawanan pangan.

Namun belakangan, kearifan lokal acap dilupakan karena pemerintah secara tidak langsung menggiring pola konsumsi penduduk berbasis beras (nasi). Muaranya, muncul persepsi bias pangan menjadi identik beras saja karena dianggap makanan pokok.

Dalam kata lain, jika Indonesia dikatakan mengalami krisis pangan, yang dimaksud sebenarnya adalah kekurangan stok beras, tetapi belum tentu kekurangan stok pangan lainnya seperti umbi-umbian.

SEKTOR PERTANIAN MULAI DITINGGALKAN

Ditengah berbagai data dan prediksi yang menyatakan akan datangnya kondisi kelangkaan pangan, sektor pertanian tenyata semakin hari semakin dtinggalkan. Skripsi Haris Prabowo (2011) berjudul “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Tenaga Kerja Desa Untuk Bekerja Di Kegiatan Non-Pertanian” mengulas fenomena tersebut.

Indonesia masih dikategorikan sebagai negara berkembang. Todaro (2006), memberikan ciri-ciri negara berkembang yaitu taraf hidup yang rendah, tingkat produktivitas yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk dan ketergantungan yang tinggi, ekspor tergantung pada sektor pertanian dan sektor primer lainnya, kepekaan dan ketergantungan terhadap hubungan luar negeri yang tinggi, serta ketergantungan mayoritas penduduk untuk bekerja di sektor pertanian.

Berangkat dari kondisi tersebut, Indonesia mengembangkan sektor pertanian yang merupakan pengejawantahan dari comparative advantage-nya.

Seiring berjalannya waktu, posisi sektor pertanian sebagai basis perekonomian Indonesia mulai tereduksi dan digantikan oleh sektor non pertanian. Sampai dengan tahun 1970an, sektor pertanian masih mendominasi perekonomian Indonesia.

Namun, booming harga minyak pada tahun 1980an menyebabkan paradigma pembangunan berubah, dari perekonomian berbasis sektor tradisional ke modern. Proses pembangunan lebih banyak diorientasikan ke sektor modern.

Akibatnya, pembangunan sektor pertanian tersendat sehingga kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PD Kontribusi pertanian sebesar 15,24% pada tahun 2003 terus menurun hingga menjadi sebesar 13, 66% Pada tahun 2008.

Sebaliknya, kontribusi kegiatan ekonomi non-pertanian cenderung semakin meningkat, kecuali industri pengolahan. Secara keseluruhan, kontribusi kegiatan ekonomi non-pertanian (sekunder dan tersier) mengalami peningkatan dalam pembentukan PDB Indonesia, yakni dari 74,13% pada tahun 2003 menjadi 78,70% pada tahun 2008.

Masih mengutip penelitian Haris Prabowo (2011), menurut teori model analisis pola pembangunan yang dicetuskan oleh Chenery, peranan sektor pertanian secara presentase terhadap pembentukan produk nasional memang akan cenderung menurun (Nuhung, 2007).

Fenomena tersebut muncul karena adanya serangkaian perubahan yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian, sehingga menyebabkan terjadinya transformasi struktural dari ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern (Todaro, 2006).

Transformasi struktural dari ekonomi tradisional ke modern tidak hanya berlangsung pada tingkat nasional, tetapi juga tingkat regional. Sejalan dengan kondisi perekonomian nasional, peranan sektor pertanian sebagai penyokong utama PDRB Jateng (contoh, yang merupakan studi kasus penelitian) telah tergantikan oleh sektor non-pertanian.

Selama kurun waktu tahun 2004-2007, sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang negatif, yakni sebesar -4, 94%B semakin menurun.

Arthur Lewis (1954 dalam Todaro, 2006), didalam teorinya (Lewis two-sector model) berpendapat bahwa transformasi struktural ekonomi dari sektor tradisional ke sektor modern akan diikuti oleh migrasi struktural tenaga kerja secara massive, dari sektor tradisional ke sektor moderen.

Tenaga kerja sektor tradisional bermigrasi karena tertarik akan tawaran tingkat upah sektor modern yang lebih tinggi daripada sektor tradisional. Menurut Lewis, perekonomian di desa merupakan representasi dari sektor tradisional, sedangkan perekonomian di kota adalah representasi dari sektor modern.

Oleh karenanya, Lewis berpandangan bahwa  migrasi  tenaga  dari  sektor  tradisional  ke  sektor  modern  terjadi  dalam bentuk migrasi penduduk dari desa ke kota.

USAHA MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN

Banyak agenda dan program telah disusun untuk mewujudkan ketahanan pangan. Hampir keseluruhannya didasari prinsip yaitu perlu adanya kesepahaman dari semua pihak untuk menjaga kestabilan harga beras dan ketersediaan beras. Beberapa aspek yang memerlukan adanya kesamaan pandang dan sikap adalah :

  1. Aspek ketersediaan yang dapat dipenuhi dari produksi dalam daerah (negeri) maupun mendatangkan dari luar daerah (impor); penentuan pilihan kebijakan (impor atau peningkatan produksi dalam daerah/negeri) untuk memenuhi ketersediaan beras akan berdampak luas (khususnya bagi petani)
  2. Aspek distribusi (antar daerah/wilayah atau negara)
  3. Aspek keamanan pangan dan pola konsumsi masyarakat.

Untuk dapat menentukan kebijakan produksi beras dalam suatu daerah/ wilayah minimal ketiga aspek tersebut harus dikaji secara mendalam dan multidimensional, bukan hanya sekedar secara teknis ekonomi semata.

Selain itu, kesediaan kita untuk menghormati makanan ketika masih berlimpah jumlahnya, akan membantu kita berpikir dalam jika dimasa yang akan datang benar terjadi kelangkaan.