Enam tahun lalu ketika pertama kali mengantarku berangkat ke pesantren, bapak mengajak mampir ke makam seorang wali-ulama, untuk ziarah. Sebuah tas ransel berisi pakaian penuh menggantung di pundakku.

Sementara bagian depan sepeda motor, di antara kedua kaki bapak berjubel kardus dan sebuah kresek besar berisi alat mandi serta jajanan.

Setelah melewati jalan utama, kami berbelok kekiri melintasi jalan yang lebih kecil dengan area persawahan disepanjang kiri dan kanan. Hujan yang semula cuma gerimis semakin lama berubah menjadi deras.

Kami harus beberapa kali berhenti ketika angin bertiup terlampau kencang, menghuyungkan motor dan seluruh bawaan kami ke arah utara. Dua kali kami berhenti, sampai kemudian kami sampai di makam.

Setelah memarkir sepeda motor di samping sebuah warung makan, dan kami bergegas berlari ke arah masjid, bapak berkata singkat:

“Ziarah makam wali itu penting, kamu mesti membiasakan diri. Nanti ajak juga teman-temanmu berziarah.”

Di usia seperti itu, yang aku tahu bahwa kami ke makam untuk membaca surat yaasin, merapalkan wirid kemudian bapak membaca doa dan akuakan  mengamininya. Kalau kemudian hari prosesi semacam itu didebatkan dan dikategorikan ‘diluar ajaran islam’ oleh beberapa orang, aku tidak pernah terpikir sejauh itu.

Yang jelas di desaku, di salah satu kota di pesisir selatan Jawa Timur, ziarah semacam ini jadi agenda rutin setahun sekali. Pengurus masjid ketika bulan tertentu biasa menyewa bus dengan iuran sukarela warga untuk berkeliling, menziarahi makam wali. Kadang satu, kadang dua bis memberangkatkan puluhan jamaah masjid.

Cerita tentang perjuangan dan keramat para wali juga disampaikan guru ngaji bocah-bocah di madrasah desa kami, sampai sekarang ditengah-tengah pelajaran shalat dan tajwid. Cerita yang dulu bahkan lebih kami tunggu dibandingkan pelajaran tajwid yang kami harus mangap-mangap untuk menirukan pelafalan beberapa makhraj.

Secara ringkas, ziarah memang memberikan berbagai manfaat positif. Misalnya, sebagai anak cucu dari ‘penghuni makam’ yang kita ziarahi, doa kita tentu bermanfaat bagi mereka.

Bukankah dalam salah satu sabda nabi yang cukup populer disebutkan bahwa amal orang yang sudah meninggal akan terhenti kecuali tiga perkara, termasuk doa dari ‘anak yang saleh dan mendoakannya’.  Maka sampaikah kiriman doa kita ke mereka? Wallahu a’lam, tapi saya yakin memang sampai dan bermanfaat kepada mereka ahli kubur.

Ziarah juga berguna untuk introspeksi diri. Supaya setidaknya kita selalu ingat mati. Sebab mati adalah kepastian. Semua yang bernyawa akan mati. Dan berziarah mampu terus memperbarui keteringatan kita pada mati.

Sederhana saja, supaya tidak aneh-aneh atau neko-neko selama hidup. Adakah siksa dan nikmat kubur? Banyak ulama mengatakan ada. Tapi bagaimana-nya, selama belum mati kita tidak akan tahu.

Ziarah ke makam ulama, memberikan banyak pelajaran juga. Tentang bagaimana mereka membawa banyak perubahan positif dalam masyarakat.

Menyebarkan agama sekaligus menyusun berbagai tatanan norma supaya kehidupan lebih sejahtera dan damai. Dalam ungkapan lain, dengan berziarah kita mempelajari sejarah perjuangan mereka.

Bagi saya yang tinggal dan tumbuh di lingkungan orang-orang yang melakukan ziarah sebagai bagian hidup mereka, maka kehadiran beberapa penceramah yang melarang ziarah dan tenar di media sosial dengan gagasan ‘kembali ke sunnah’ atau ‘memurnikan ajaran islam dari berbagai bid’ah’ terlihat sebagai lucu-lucuan saja.

Kita bisa berdebat sangat panjang tentang berbagai dalil, namun sejauh yang saya pelajari, orang-orang yang terbiasa melakukan ziarah juga landasan yang cukup kuat untuk ritual yang mereka kerjakan.

Maka mari tetap berziarah, mendoakan leluhur kita mendapat hidup yang nyaman didalam kubur, serta mengambil berbagai pelajaran positif dari perjuangan para pendahulu.

oleh Luthfi Hamdani