Penulis: Luthfi Hamdani

Saya selesai membaca beberapa bab awal dari buku bagus karangan Eric Holt-Gimenez, Ph.D, berjudul “A FOODIE’S GUIDE TO CAPITALISM; Understanding the Political Economy of What We Eat”. Gimenez adalah  direktur eksekutif dari Food First/Institute for Food and Development Policy. Selain itu ia menjadi pengajar di beberapa kampus ternama, salah satunya University of California in Berkeley.

Ide dari ditulisnya buku ini pada dasarnya sederhana. Hal ini misalnya diwakili oleh paragraf dari Marion Nestle dalam kata pengantar buku Gimenez:

“Kita membutuhkan makanan untuk hidup. Tetapi tujuan perusahaan makanan bukan untuk mempromosikan kehidupan, kesehatan, atau kebahagiaan kita; tapi tujuan mereka adalah untuk menghasilkan uang bagi eksekutif dan pemegang saham.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat menyatakan bahwa manusia memiliki hak atas makanan, “menyadari ketika setiap pria, wanita dan anak-anak, sendirian atau dalam komunitas dengan orang lain, memiliki akses fisik dan ekonomi setiap saat pada makanan atau sarana yang memadai untuk pengadaannya;” tapi bukan itu cara kerja kapitalisme.

Kapitalisme mengubah makanan, suatu esensi penting kehidupan, menjadi komoditas untuk dijual seperti komoditas lainnya.”

Lebih lanjut, Nestle dalam kata pengantarnya mencoba meringkas isi buku tersebut dalam beberapa pertanyaan besar:

“Bagaimana sesuatu yang mendasar bagi keberadaan kita sebagai makanan diubah menjadi instrumen untuk mendapatkan keuntungan? Buku ini menceritakan sejarah itu dan menjelaskan konsekuensinya. Kemudian menjawab pertanyaan yang harus kita semua bertanya: Mengapa begitu banyak orang Amerika yang terlalu miskin untuk membeli makanan?

Mengapa begitu banyak orang menambah berat badan dan mengalami obesitas? Mengapa harga buah-buahan dan sayuran segar naik lebih cepat daripada minuman ringan? Apakah dan Mengapa petani pemula tidak mampu membeli tanah? Mengapa USDA menganggap buah dan sayuran sebagai “tanaman spesial”?

Kenapa sebagian besar tanah pertanian kita ditaanami bahan pakan untuk hewan dan untuk bahan bakar mobil daripada ditanami makanan untuk manusia?”

Pada bagian pengantar penulis, Gimenez memulainya dengan satu bab yang judul yang mengandung pertanyaan; Do Foodies Need to Understand Capitalism? (Apakah Pecinta Kuliner Perlu Memahami Kapitalisme?). Dan jawaban untuk pertanyaan tersebut tercantum secara eksplisit dalam kalimat pertama di paragraf pertama; The answer of course is yes.

************

Berikut resume atas tulisan Gimenez dalam bagian pengantar bukunya:

Setiap orang yang mencoba mengubah sistem pangan, atau orang-orang yang berjuang untuk mengakhiri kelaparan, kerawanan pangan, dan penyakit terkait diet, serta mereka yang bekerja untuk pertanian yang adil dan berkelanjutan, dan juga orang-orang yang hanya ingin akses ke makanan yang baik; Mereka perlu untuk mengetahui tentang kapitalisme.!!!!

Mengapa? Karena kita memiliki sistem pangan kapitalis. Namun relatif sedikit orang yang mengetahui hal ini.

Ini nampak aneh, terutama bagi mereka yang mengidentifikasikan diri dengan pergerakan sosial terkait makanan. Lagipula, seseorang tidak akan mulai bertani tanpa gagasan menanam, atau membangun situs web tanpa pengetahuan tentang perangkat lunak web, atau membuat atap rumah tanpa memahami konstruksi. Namun banyak, jika tidak sebagian besar, aktivis pangan yang mencoba mengubah sistem pangan namun memiliki sedikit pengetahuan tentang fondasi kapitalis (capitalist foundations) dari sistem pangan.

Sebagian hal ini karena sebagian besar orang dalam pergerakan terlalu sibuk mencoba untuk berurusan dengan masalah langsung dari sistem pangan. Dapat dipahami, mereka memusatkan upaya mereka pada satu atau dua masalah daripada sistem secara keseluruhan, seperti akses makanan sehat, pertanian perkotaan, pertanian organik, pertanian yang didukung masyarakat, makanan lokal, hak-hak pekerja pertanian, kesejahteraan hewan, kontaminasi pestisida, benih kedaulatan, label GMO … daftarnya panjang.

Selain itu, proyek-proyek pergerakan ini sering didanai oleh yayasan filantropi yang mendukung proyek-proyek yang menangani masalah mendesak dan organisasi yang perlu menunjukkan hasil yang nyata dan dapat diukur (quantifiable).

Mengingat beratnya masalah dalam sistem pangan kita, hal ini dapat dimengerti, tetapi fokus ini sering kali melampaui upaya untuk membangun gerakan politik jangka panjang yang dapat mengatasi akar penyebab masalah tersebut.

Terlebih lagi, organisasi pergerakan sering menemukan diri mereka dalam persaingan untuk memperoleh pendanaan, sehingga sulit untuk membentuk aliansi lintas-isu yang beragam yang didedikasikan untuk perubahan sistemik.

Juga individu pemberani (serta independen) dan pengusaha makanan yang bekerja sendiri di ceruk pasar khusus memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengatasi masalah sistemik.

Tetapi ada juga alasan politis dan ideologis yang lebih besar mengapa gerakan di bidang pangan tidak tahu banyak tentang kapitalisme. Untuk sebagian besar mereka, kapitalisme sama sekali tidak dibahas di negara-negara kapitalis -bahkan dalam kursus ekonomi universitas- di mana struktur politik-ekonomi dianggap tidak berubah dan jarang dipertanyakan.

Sampai kehancuran finansial global pada 2008, secara sosial masyarakat dan akademisi masih canggung menyebut istilah kapitalisme di Amerika Serikat. Hal ini karena pemeriksaan pada kapitalisme yang dilakukan secara asal-asalan segera mengungkap dan membangun batasan perbedaan antara ekonomi dan politik yang mendalam, sehingga bertentangan dengan anggapan umum bahwa kita hidup dalam masyarakat demokratis tanpa kelas.

Mereka yang memiliki hak istimewa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi biasanya perlu menunggu sampai lulus sekolah sebelum mempelajari karya-karya dasar Ricardo, Smith, Mill, Marx, Polanyi, Keynes, dan pakar sistem ekonomi Amerika yang terkenal.

Bahkan kemudian, kapitalisme sering diperlakukan sebagai artefak intelektual untuk dipelajari dalam isolasi akademik daripada sistem sosial dan ekonomi yang dinamis dari kekayaan dan kekuasaan yang terus-menerus memengaruhi, membentuk, dan membentuk kembali kehidupan di seluruh dunia.

Diarahkan terutama (meskipun tidak secara eksklusif) kepada audiens dan pembaca di Amerika Serikat, buku Gimenez ini mengambil pendekatan lain. Buku ini mencoba menerapkan kerangka kerja sistem pangan untuk menjelaskan beberapa cara kerja dasar kapitalisme, dan menggunakan pemahaman dasar tentang kapitalisme untuk memahami mengapa sistem pangan bekerja sebagaimana adanya saat ini.

Dalam proses analisis ini, gerakan sosial dibahas, menunjukkan cara-cara di mana kepentingan kelas, persepsi sosial, dan organisasi politik dapat mempengaruhi hasil dalam rezim pangan kapitalis. Jika Anda tidak terbiasa dengan pendekatan ini untuk memahami dunia, jangan kaget. Anda tidak sendiri.

Pada akhir 1970-an, Amerika Serikat dan Inggris Raya memperkenalkan kebijakan untuk menurunkan pajak perusahaan dan orang kaya, memprivatisasi barang publik, menghapus peraturan lingkungan dan tenaga kerja, dan meliberalisasi perdagangan.

Kebijakan-kebijakan ini mendorong aturan yang oleh para ekonom arus utama disebut sebagai “pasar bebas’ (free market), yaitu, kebebasan bagi perusahaan besar untuk menghasilkan apa dan di mana mereka inginkan, mengimpor dari tempat yang mereka inginkan, dan menyimpan keuntungan di tempat yang mereka inginkan.

Sementara itu mereka bisa menghindari kewajiban pajak dan mentransfer biaya lingkungan dan kesehatan yang sangat besar kepada masyarakat. Rangkaian kebijakan ekonomi ini dikenal sebagai “neoliberalism”. Hal ini karena mereka menghidupkan kembali gagasan pasar bebas abad kesembilan belas dalam konteks abad ke-20; untuk kepentingan orang-orang yang sangat kaya.

Neoliberalisme lebih dari sekadar menciptakan plutokrasi baru bagi para miliarder dan perbedaan tingkat kekayaan dan pendapatan tertinggi dalam sejarah. Dalam menghadapi privatisasi dan kekuatan monopoli modal yang berkembang, ruang publik mengalami kehancuran. Ruang publik ini bermakna bagian dari masyarakat di mana keputusan dibuat oleh warga negara yang terlibat dalam diskusi politik dan aktivitas sipil, bukan pasar dan tempat di mana barang publik dibagi.

Serikat pekerja lumpuh, dan pengaruh politik organisasi progresif hancur, sering kali di bawah serangan langsung dari pasukan (dalam konteks Indonesia semacam Ormas) reaksioner yang didanai dengan baik.

Meskipun perkembangan ini sering disajikan sebagai bagian “alami” dari evolusi ekonomi global, tapi pada dasarnya semua perkembangan tersebut didasarkan pada keputusan yang dibuat oleh kelas kaya yang kuat untuk memajukan kepentingan mereka sendiri.

Neoliberalisme dalam skala global dikenal sebagai globalisasai (globalization), sebuah proyek kelas yang dikembangkan oleh para pemilik modal internasional yang kuat yang sekarang kita sebut 1% penguasa global.

Neoliberalisme memperkuat anggapan bahwa kita, masing-masing dari kita, sepenuhnya bertanggung jawab atas hasil kehidupan apa pun yang kita alami. Ini bertujuan untuk membuat kita serapuh mungkin, dan karenanya lebih mudah dieksploitasi.

Pada saat yang sama, gerakan sosial baru berdasarkan gender, ras, etnis, dan lingkungan telah berkembang sejak tahun 1960-an. Sangat terfragmentasi, gerakan-gerakan ini cenderung berpaling dari bentuk-bentuk lama pengorganisasian politik seperti serikat pekerja, partai politik pelopor, dan organisasi politik-militer, yang sering dipandang sebagai tidak demokratis dan tidak responsif terhadap politik identitas dan isu-isu lingkungan.

Ketika neoliberalisme memperoleh momentum, organisasi-organisasi mapan dari “kiri lama” (old left) menjadi semakin tidak efektif, sementara partai-partai politik yang mapan, seperti Partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat, bergerak dengan mantap ke kanan, menganut model baru.

Kombinasi dari globalisasi, kehancuran kaum kiri lama, dan penyebaran gerakan-gerakan sosial baru menghancurkan banyak ortodoksi politik yang sudah lama bertahta, membuka gerakan kaum kiri pada masalah-masalah gender, lingkungan, etnis, dan ras.

Tetapi di negara-negara maju, ini juga menghasilkan generasi aktivis yang agak buta kelas dengan sedikit minat tentang bagaimana sistem ekonomi sebenarnya bekerja, dan sedikit pemahaman tentang peran kapitalisme dalam penindasan sosial yang mereka lawan.

Pengetahuan kritis kapitalisme, vital bagi perjuangan gerakan sosial melalui abad ke-19 dan ke-20 – sebagian besar lenyap dari leksikon perubahan sosial, tepatnya pada saat kapitalisme neoliberal menghancurkan kelas pekerja dan tanpa henti menembus setiap aspek alam dan masyarakat di planet ini.

Banyak kaum sosial-progresif malah tanpa disadari menjadi kaki tangan dari munculnya neoliberalisme ekonomi, sehingga menimbulkan apa yang disebut Nancy Fraser ‘neoliberalisme progresif’ (progressive neoliberalism):

“Selama bertahun-tahun ketika industri manufaktur membuat lubang (cratured), negara berdengung dengan pembicaraan tentang “keragaman;” “Pemberdayaan;’ dan “non-diskriminasi: Mereka mengidentifikasi kemajuan dengan ‘meritokrasi’ alih-alih dengan menggunakan kesetaraan

Istilah-istilah di atas menyamakan ‘emansipasi’ dengan munculnya sekelompok kecil perempuan, minoritas, dan kemenangan kelompok gay (LGBT) berbakat dalam mencapai jabatan tinggi di hierarki perusahaan, alih-alih melakukan penghapusan hirarki.

Pemahaman liberal-individualis tentang ‘progress’ ini secara bertahap menggantikan pemahaman emansipasi yang lebih maju, anti-hierarkis, egaliter, peka kelas, anti-kapitalis tentang emansipasi yang berkembang pada 1960-an dan 1970-an.”

Namun, fragmentasi, depolitisasi, dan kooptasi neoliberal dari pergerakan di bidang pangan, dengan cepat telah berubah seiring dengan runtuhnya neoliberalisme progresif. Munculnya intoleransi rasial, xenophobia, dan kekerasan terorganisir dari kelompok sayap kanan telah meningkatkan kekhawatiran neofasisme di seluruh dunia, dan mendorong semua gerakan sosial progresif untuk menggali lebih dalam untuk sepenuhnya memahami masalah yang saat ini sedang mereka hadapi.

Banyak orang di Global South (negara kurang berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin), terutama produsen makanan miskin, tidak mampu untuk tidak memahami kekuatan ekonomi yang menghancurkan mata pencaharian mereka.

Bangkitnya langkah kedaulatan pangan internasional saat ini, yang juga mengakar di kalangan petani, buruh tani, dan pekerja pangan di Amerika Serikat, adalah bagian dari sejarah panjang penolakan terhadap kekerasan, perampasan dan eksploitasi kapitalis atas tanah, air, pasar, tenaga kerja, dan benih.

Di Global North, komunitas yang kurang terlayani dari kulit berwarna, mereka yang secara historis mengalami gelombang kolonialisasi, perampasan, eksploitasi, dan diskriminasi, mulai membentuk tulang punggung dari gerakan keadilan makanan yang menyerukan akses yang adil dan merata ke makanan yang baik dan sehat.

Memahami mengapa orang kulit berwarna dua kali lebih mungkin menderita kerawanan pangan dan penyakit yang berkaitan dengan pola makan, meskipun mereka hidup di negara demokrasi utara yang makmur, membutuhkan pemahaman tentang persimpangan kapitalisme dan rasisme.

Begitu juga perlu memahami mengapa petani bangkrut ketika melakukan produksi berlebih (overproducing)  atas makanan di dunia di mana satu dari tujuh orang kelaparan.

Ketika kelas menengah di negara maju menyusut, sebagian besar generasi milenial, setengah menganggur dan dibebani dengan utang, akan hidup lebih pendek daripada orang tua mereka, sebagian besar disebabkan oleh epidemi penyakit terkait diet yang endemik khas kapitalisme modern.

Tren ‘kembali ke tanah’ (back to the land) yang meluas bukanlah sekadar pilihan gaya hidup; tren itu juga menanggapi menyusutnya peluang mata pencaharian. Dan ketika para petani muda berjuang untuk mengakses tanah pertanian yang semakin mahal, publik menghadapi perlawanan keras dari perusahaan terhadap segala hal mulai dari pipa minyak dan pelabelan transgenik hingga penyakit bawaan makanan dan makanan sekolah yang tidak sehat.

Para pencinta lingkungan mengobarkan pertempuran tanpa akhir melawan penipisan air, polusi, dan perlakuan tidak manusiawi pada industri pertanian, hilangnya keanekaragaman hayati, dan emisi karbon. Ada keinginan yang semakin besar untuk memahami akar penyebab masalah-masalah yang terkait dan tampaknya tidak dapat diselesaikan ini.

Aktivis lintas gerakan pangan mulai menyadari bahwa sistem pangan tidak dapat diubah secara terpisah dari sistem ekonomi yang lebih besar.

Tentu, kita dapat bermain-main di sekitar tepi masalah dan melakukan pekerjaan yang bermanfaat dalam proses. Namun, untuk sepenuhnya menghargai besarnya tantangan yang kita hadapi dalam mengubah sistem pangan kita dan apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan sistem baru yang selaras dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan, kita perlu menjelajahi konteks ekonomi dan politik dari sistem pangan kita. Yaitu, masyarakat kapitalis.

Buku Gimenez ini dimaksudkan sebagai alat ekonomi-politik untuk pergerakan di bidang pangan; mulai dari pecinta kuliner, petani, aktivis keadilan pertanian, dan konsumen yang peduli hingga keadilan iklim dan aktivis lingkungan.

Tulisan Gimenez ini adalah pengantar dasar untuk memahami sistem ekonomi kapitalisme seperti yang terlihat melalui lensa sistem pangan, meskipun itu tidak dimaksudkan untuk menjadi pengobatan lengkap dari keduanya.

Dengan memahami beberapa dasar tentang bagaimana kapitalisme beroperasi, kita dapat lebih memahami mengapa sistem pangan kita seperti itu adanya, dan bagaimana kita dapat mengubahnya.

Sebaliknya, memahami bagaimana kapitalisme membentuk sistem pangan dapat membantu kita memahami peran makanan dalam struktur dan fungsi kapitalisme itu sendiri. Wawasan seperti ini dapat membantu kita menempatkan berbagai bentuk aktivisme kita ke dalam perspektif politik dan mengenali peluang untuk membangun alternatif, membangun aliansi, mengambil tindakan, dan memahami perbedaan antara reformasi yang dangkal dan reformasi yang benar-benar transformatif.

Apa tujuan sebenarnya yang ada di balik perjanjian perdagangan bebas regional, pasar karbon, GMO, ‘intensifikasi berkelanjutan’ (sustainable intensification) dan kemitraan publik-swasta untuk memberi makan dunia’ (feed the world)?

Akankah lebih banyak pertanian organik dan kebun organik serta pertanian yang didukung masyarakat mampu mengubah sistem pangan? Akankah perdagangan yang lebih adil dan keuangan mikro bersertifikat membangun kembali pedesaan ekonomi di wilayah Global South?

Bisakah kita melawan kenaikan nilai tanah dan perampasan lahan perusahaan dengan kepercayaan lahan dan prinsip-prinsip investasi pertanian yang bertanggung jawab, atau haruskah kita menuntut reformasi agraria yang masif?

Sementara jargon aktivis dan bahasa misterius ekonomi politik dijaga agar tetap minimum di buku ini, namun kita akan diperkenalkan pada konsep-konsep penting ekonomi politik, dan terminologinya mungkin tampak misterius.

Glosari terperinci dari istilah-istilah ini disertakan untuk referensi yang nyaman. Bagi mereka yang ingin menggali lebih dalam masalah kapitalisme, sistem pangan, dan pergerakan makanan, ada banyak bahan referensi, misalnya:

Siapa yang memiliki apa? Siapa melakukan apa? Siapa yang mendapat apa? Apa yang mereka lakukan dengannya?

Di atas adalah pertanyaan dasar yang diajukan dalam studi kapitalisme. Untuk memahami bagaimana sistem pangan kapitalis bekerja, Gimenez mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan memperkenalkan konsep-konsep yang dipilih dari studi ekonomi politik, ilmu sosial yang mendahului ekonomi lebih dari seratus tahun sebelumnya.

Studi Gimenez dimulai dengan tinjauan sejarah yang luas dengan menelusuri “Bagaimana Sistem Pangan Kapitalis Kita Terjadi;” yang berfokus pada peran pertanian dalam pengembangan kapitalis dan peran modal dalam pengembangan pertanian selama dua abad terakhir.

Komodifikasi awal tanaman utama seperti kentang, beras, dan jagung berperan penting dalam kolonialisme Eropa, ekspansi AS, dan bangkitnya industrialisasi. Budidaya dan komodifikasi mereka dimungkinkan melalui proses dan peristiwa seperti pengenaan selungkup, genosida, perbudakan, dan perbudakan kontrak.

Ini difasilitasi oleh pengenalan teknologi revolusioner seperti pagar (digunakan untuk selungkup), kotoran burung laut (untuk mengembalikan kesuburan tanah), dan tanaman Dunia Baru seperti jagung dan kentang (digunakan untuk memberi makan jajaran orang miskin yang sedang tumbuh).

Juga membahas pertanyaan agraria (agrarian question), Kesepakatan Baru (the New Deal), dan Revolusi Hijau (the Green Revolution), dan akan menunjukkan bagaimana mereka semua membentuk kemunculan tiga rezim pangan global yang terkait secara historis.

Selanjutnya membahas makanan sebagai komoditas khusus. Gimenez melihat nilai pakai dan nilai tukar (exchange value). Buruh, unsur yang sering dilupakan dalam makanan kita, adalah fundamental bagi nilai surplus makanan, dasar untuk pembentukan “modal” dalam kapitalisme.

Pernah bertanya-tanya mengapa wortel organik sangat mahal? Bab kedua dalam buku Gimenez akan membantu menjawab pertanyaan itu dengan mengeksplorasi konsep ‘waktu kerja yang diperlukan secara sosial’ (socially necessary labor time).

Pengerukan (appropriation) nilai makanan tidak mungkin terjadi tanpa kepemilikan pribadi dan kepemilikan perusahaan. Dalam pemeriksaan Gimenez atas ‘Tanah dan Properti’, diketahui adanya peran yang saling terkait yang dimainkan oleh properti publik, pribadi, dan properti bersama dalam pembangunan sistem pangan kita.

Memahami sistem ‘sewa tanah’ mengungkapkan bagaimana krisis siklus modal (capital’s cyclical crises) melepaskan gelombang perampasan tanah dan finansialisasi lahan pertanian yang telah stabil. Penggunaan lahan mengikuti logika modal dan logika tarik-ulur. Kita bisa melihat studi kasus di dataran tinggi Guatemala untuk melihat bagaimana kapitalisme “melakukan penggalian” untuk mengakses dan mengekstraksi sumber daya.

Terlepas dari kemampuannya untuk menghasilkan triliunan dolar dalam kekayaan, agribudaya adalah kerja keras dan bisnis yang berisiko, menjadikannya lebih berisiko dengan perubahan iklim. Petani tidak bisa mengambil dan pindah ke lokasi yang lebih baik.

‘Pemisahan antara waktu kerja dan waktu produksi’ (disjuncture between labor time and production time) menghadirkan hambatan signifikan untuk investasi modal. Bagaimana kapitalisme mengatasi hambatan-hambatan ini dan menghindari risiko untuk mendapat untung dari pertanian bukanlah suatu keajaiban ekonomi. Meskipun demikian, karena sistem pangan terus dikapitalisasi melalui proses ganda yang disebut ‘persetujuan dan penggantian’ (appropriation and substitutioni) menjadi korban krisis siklus kapitalisme.

Dalam pembahasan mengenai ‘Makanan dan Pertanian Kapitalis’,  Gimenez menuliskan bagaimana pemerintah secara historis menangani masalah ini, dan bagaimana modal membuat masyarakat membayar untuk siklus boom-and-bust yang menghancurkan.

Kita akan melihat pertanian kontrak, CAFO, dan pemanasan global sebagai bagian tak terpisahkan dari ‘perpecahan metabolik’ intrinsik untuk pertanian kapitalis. Mengapa pertanian kapitalis dianggap tidak rasional, dan seperti apa pertanian -pertanian rasional? Agroekologi, ekonomi moral, dan keragaman gaya pertanian membantu kita menjawab pertanyaan ini.

Bagaimana kapitalisme berkembang sejalan bersama dengan ketimpangan? Pada pembahasan mengenai ‘Kekuasaan dan Hak Istimewa dalam Sistem Pangan: Gender, Ras, dan Kelas; ‘ Gimenez melihat sejarah ekonomi politik patriarki, rasisme, dan klasisisme dalam sistem pangan, menganalisis akar-akar umum eksploitasi orang kulit berwarna, wanita, dan orang miskin.

Bagaimana kasta rasial dan kasta kulit putih (whiteness) itu sendiri dibangun di sistem pangan? Dengan memperkenalkan hubungan antara imperialisme dan bidang produksi dan reproduksi, kita akan melihat mekanisme ‘superexploitation’ dalam produksi dan konsumsi makanan kita. Perbedaan kelas, jenis kelamin, dan warna dalam sistem pangan juga memunculkan peluang bagi aliansi dan perlawanan.

Daftar masalah sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh kapitalisme; mulai dari kelaparan, kekurangan gizi, pemanasan global, dan limbah makanan sudah terjadi sangat luas.

Begitu juga daftar solusi kapitalisme untuk masalah yang diciptakannya. Pada pembahasan mengenai ‘Makanan, Kapitalisme, Krisis, dan Solusi’, Gimenez menelaah secara kritis beberapa masalah utama dan mengusulkan solusi kapitalis, menerapkan pelajaran dalam ekonomi politik yang dipelajari dalam bab-bab sebelumnya. Gimenez juga menggambarkan transisi agraria kapitalisme yang baru dan membandingkannya dengan alternatif agroekologi.

Kesimpulan dari buku “A Foodie’s Guide to Capitalism”, Gimenez menyerukan ‘Mengubah Segalanya’ (Changing Everything). Gimenez meninjau kembali sifat rejim makanan kapitalis dan melihat cara-cara di mana gerakan kontra pangan (food counter-movement) yang terpecah-pecah berkumpul untuk membentuk politik pangan yang baru.

Peran kontradiktif dari ‘kompleksitas industri nirlaba’ (nonprofit industrial complex) dan pentingnya membangun ruang publik transnasional yang kritis juga dibahas. Terakhir, pembahasan ekonomi politik sistem pangan diakhiri dengan penjelasan tentang bagaimana membedakan aliansi strategis dan taktis, dan seruan untuk mengubah segalanya.